
KabarMakassar.com — Aksi unjuk rasa dilakukan Aliansi Wija To Luwu (WTL) dalam memperingati Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei sekaligus Hari Pendidikan Nasional yang diperingati hari ini, Jumat (02/05).
Menyoroti persoalan buruh, Aliansi Wija To Luwu mendesak perusahaan menghentikan penyerobotan lahan dan tanah adat di Luwu Raya.
Jenderal Lapangan, Adnan Prawansyah mengatakan Luwu Raya sebagai salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang kaya akan sumber daya alam, khususnya mineral telah berkembang menjadi wilayah industrialisasi pertambangan yang signifikan.
Menurutnya, aktivitas pertambangan nikel, emas, maupun mineral lainnya membawa harapan pembangunan ekonomi, namun juga menimbulkan tantangan besar bagi lingkungan dan masyarakat lokal.
Dibalik geliat ekonomi tersebut, dampak negatif yang tak bisa diabaikan adalah kerusakan lingkungan.
Eksploitasi tambang dalam skala besar telah menyebabkan deforestasi, sedimentasi sungai, dan pencemaran air.
Selain itu, masyarakat lokal sering kali mengalami marginalisasi dalam proses pengambilan keputusan, sementara hak atas tanah adat atau lahan pertanian mereka terancam oleh ekspansi perusahaan tambang.
Konflik agraria pun kerap muncul, antara warga dan perusahaan, bahkan antar warga sendiri.
“Selain itu, ketimpangan sosial juga meningkat, di mana kelompok yang terlibat dalam industri pertambangan menikmati kesejahteraan, sementara yang lain terpinggirkan,” sebutnya
Ia menjelaskan bahwa Luwu Raya yang merupakan kawasan industrialisasi pertambangan juga menyimpan potret buram, meningkatnya kriminalisasi terhadap buruh yang bersuara.
Dalam beberapa tahun terakhir, gejala pembungkaman terhadap pekerja yang memperjuangkan hak-haknya makin terasa nyata.
Buruh tidak hanya dihadapkan pada sistem kerja eksploitatif, tetapi juga pada ancaman hukum yang digunakan sebagai alat represi.
Kriminalisasi buruh terjadi ketika pekerja atau serikat buruh dipidanakan, diintimidasi, atau dilabeli mengganggu keamanan hanya karena menyampaikan aspirasi secara damai.
Di Luwu Raya, bentuk-bentuk kriminalisasi ini mencakup pelaporan buruh ke polisi karena aksi mogok, pemanggilan aktivis buruh saat melakukan protes atas kondisi kerja, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan “tidak loyal terhadap perusahaan”.
“Akar dari kriminalisasi ini adalah ketimpangan kuasa antara buruh dan pemilik modal dalam hal ini perusahaan, serta lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja di tingkat lokal. Serikat buruh sering dianggap sebagai ancaman, bukan mitra dialog. Hal ini diperparah dengan minimnya keberpihakan pemerintah daerah yang lebih sering memihak investasi tanpa mengedepankan prinsip keadilan sosial,” sambungnya
“Fenomena seperti inilah yg menggerakkan Aliansi Wija To Luwu untuk melakukan demonstrasi dalam memperjuangkan hak buruh di Luwu Raya. Maka dari itu aliansi Wija To Luwu yg merupakan representasi dari masyarakat Luwu raya membawa beberapa tuntutan diantaranya penghentian segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap buruh,” tegasnya
“Hentikan penyerobotan lahan yang sewenang-wenang yang dilakukan perusahaan yg ada di Luwu Raya dan lindungi hutan adat serta menuntut peningkatan jaminan sosial, kesejahteraan dan keadilan bagi buruh di Luwu Raya,” jelasnya