Hikmah Isra Mi’raj: Pelajaran Kepemimpinan serta Spiritualitas dalam Sejarah Islam

3 months ago 58

banner 468x60

KabarMakassar.com — Hari ini pada Senin 27 Januari 2025 diperingati sebagai Isra Mi’raj. Ini merupakan peristiwa dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam satu malam yang penuh makna.

Dilansir dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Pemprov Sulsel

Berdasarkan al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yakni antara tahun 620 sampai dengan 621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.

Walau begitu, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah ra meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yakni dua bulan setelah bulan Rajab, dan saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu.

Al-Mubarakfuri menyampaikan enam pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi’raj. Namun, tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan biasa bagi Nabi Muhammad SAW. Peristiwa tersebut menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW.

Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Perjalanana pertama yakni Isra, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa.

Selanjutnya, dalam perjalanan kedua Mi’raj, Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di tempat ini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

Terkait dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, disampaikan, terdapat beberapa hikmah didalamnya.

Pertama, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya berasal dari Ishaq AS. Hikmah berikutnya, Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Apabila dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan golongan Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.

Hikmah kedua, Allah SWT ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan namun tidak mesti secara langsung.

Allah SWT memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu dakwah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh sebab itu pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad SAW juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW dapat melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya.

Hal tersebut turut menjadi pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah SWT tidak mendengar.

Bagi kita umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena saat inilah shalat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.

Dari ajaran yang datang dari langit, terdapat nilai-nilai penting yang dapat diterapkan dalam kepemimpinan.

Pertama, seperti yang tercermin dalam ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj, yang dimulai dengan tasbih, serta peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudhu, dalam kepemimpinan, langkah pertama yang harus diambil adalah menjaga integritas moral.

Dalam konteks Indonesia, maka hal ini bisa diwujudkan melalui reformasi moral atau revolusi mental yang dimulai dari tingkat aparatur pemerintahan.

Kedua, selain menjaga integritas moral atau akhlaqul karimah, hal penting lainnya adalah mengambil pelajaran dari sejarah.

Ini bisa berupa nilai-nilai yang berkaitan dengan masa lalu, ataupun pengalaman dari individu-individu yang pernah memimpin. Dengan cara ini, maka kesinambungan sejarah dapat terus dijaga dan dikembangkan.

Sebagaimana tercermin dalam kaidah fiqh, yaitu mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.

Ketiga, dengan adanya integritas moral dan nilai-nilai kesejahteraan tersebut, diharapkan kepemimpinan bisa berjalan dengan tepat serta tidak mudah terpengaruh oleh godaan, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat melakukan peristiwa Mi’raj.

Kepemimpinan yang seperti ini hanya bisa terwujud apabila seluruh aparaturnya menjalankan keadilan dengan prinsip kesetaraan di depan hukum. Proses tersebut akan berjalan dengan baik jika para aparatur bersikap konsisten dan disiplin, dapat dipercaya, serta siap untuk membahas dan menyelesaikan segala masalah melalui musyawarah bersama.

Satu hal yang harus selalu diingat adalah, jangan sampai seorang pemimpin bersikap sok tahu atau merasa paling paham tentang segala hal. Pemimpin juga wajib menghindari mempersulit orang yang dipimpin dan kebijakannya tidak boleh melebihi batas kemampuan yang ada, baik bagi orang yang dipimpin maupun bagi dirinya sendiri sebagai pemimpin.

Keempat, yaitu kebijakan seorang pemimpin seharusnya selaras dengan hati dan kebutuhan rakyat yang dipimpinnya.

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan terkait hal ini, ketika Nabi Muhammad SAW dengan rela turun kembali ke bumi setelah bertemu dengan Allah SWT.

Padahal, pertemuan dengan Allah SWT merupakan tujuan utama umat manusia, terutama kaum sufi atau para pencari Tuhan. Kembalinya Rasulullah SAW ini bertujuan untuk menyelamatkan umat manusia.

Dalam konteks tersebut, kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat amat diperlukan. Sebagaimana tercermin dalam kaidah fiqh, kebijakan pemimpin selalu berlandaskan pada kemaslahatan rakyat.

Terakhir, perintah Rasulullah SAW untuk menegakkan shalat mengandung simbolisme yang mengajarkan prinsip-prinsip kepemimpinan, yaitu tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya serta antar sesama manusia.

Dalam praktik shalat, seseorang wajib terlebih dahulu melakukan wudhu atau berada dalam keadaan suci sebelum melaksanakannya.

Shalat kemudian dimulai dengan mengagungkan nama Allah dan ditutup dengan doa keselamatan bagi seluruh umat manusia.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news