Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja, Ahmad Djauhar. - Harian Jogja/Hengky Kurniawan.
Sementara dunia terus berjuang berlomba menentukan siapa yang akan dinobatkan sebagai pemimpin dalam energi hijau, Austria, diam-diam memosisikan dirinya sebagai pelopor di sektor ini. Alasannya? Mereka telah menemukan cara untuk "menanam" baterai bekas seolah-olah itu adalah benih tetumbuhan yang nantinya berbuah energi dan tentu saja dapat dipanen.
Penemuan terbaru dari Universitas Teknik Wina (TU Wien) ini mungkin terdengar ngayawara atau malah dagelan, tetapi mereka benar-benar berhasil mengubah baterai bekas menjadi energi bersih dengan memproduksi metana terbarukan. Ya, mengubah limbah beracun menjadi energi bersih ternyata dimungkinkan!
Ini bukan fiksi ilmiah, tetapi benar-benar kasunyatan. Yang jelas, ini bukan sihir, tetapi murni ilmiah dan/atau saintifik. Sistem ini telah menemukan bahwa bahan utama dari baterai yang sudah habis dapat digunakan kembali, seperti nikel, alumina dari aluminium foil, dan diubah menjadi "nanokatalis".
Katalis ini pada dasarnya berfungsi untuk mengubah CO₂ menjadi metana menggunakan hidrogen, menghasilkan energi bersih yang dapat digunakan di sektor mana pun. Dengan cara ini, limbah yang berbahaya dan semula menjadi masalah, justru menjadi bagian penting dari produksi bahan bakar bersih. Benar-benar kimia modern!
Ya, baterai memang hebat dan sangat modern, tetapi degradasinya berdampak cukup buruk pada ekosistem (pencemar lingkungan yang sesungguhnya), dan jutaan baterai dihasilkan dan terakumulasi setiap tahun. Jadi, alih-alih membuangnya, baterai bekas pakai tersebut dapat digunakan kembali, atau bahasa ngepopnya di seluruh dunia kini: RRR alias recycle, reduce, dan reuse (daur ulang, kurangi, dan gunakan kembali).
Teknologi ini berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi industri dan mobil. Ini adalah revolusi nyata dalam hal daur ulang elektronik dan pengurangan emisi di sektor-sektor semacam ini. Karenanya, Austria tidak hanya dapat menjadi rujukan keberlanjutan tetapi juga akan menjadi ‘ratu’ solusi berkelanjutan, sesuatu yang tidak semua orang dapat melakukannya.
Apa yang dilakukan dengan baterai bekas tersebut? Untuk saat ini, ketika kita ingin membuang baterai bekas (terutama yang terbuat dari nikel, litium, atau timbal), solusinya sangat bergantung pada negar di mana kita tinggal, tetapi hampir secara umum hanya ada tiga pilihan untuk membuang baterai ini.
Pertama adalah daur ulang sebagian. Dalam beberapa kasus, bahan yang paling berharga seperti nikel atau kobalt diekstraksi, dan sisanya dibuang, tetapi itu tidak selalu merupakan proses yang efisien, dan bagian terburuknya adalah mahal dan rumit.
Kedua, ada pilihan akumulasi. Ini berarti bahwa terdapat "kuburan" baterai yang menunggu dengan sabar di masa depan untuk memberikan mereka jawaban. Pada dasarnya, karena tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan dengan baterai tersebut, dan baterai tersebut menunggu solusi untuk ditemukan.
Ketiga, yang tidak diragukan lagi sebagai hal terburuk, yakni banyak baterai bekas pakai itu berakhir di tempat pembuangan sampah atau diekspor ke negara-negara berkembang. Ya, seolah-olah negara-negara tersebut adalah tempat pembuangan sampah bagi negara-negara kaya.
BACA JUGA: MA Terbitkan Surat Edaran, Seluruh Hakim dan Keluarganya Dilarang Hidup Mewah!
Tentu saja, di negara-negara berkembang tadi, baterai tersebut ditangani tanpa kondisi atau pengetahuan yang tepat dan akhirnya melepaskan senyawa beracun yang mencemari tanah dan air setempat. Itulah mengapa opsi yang diusulkan Austria ini begitu menarik, tidak hanya menyelesaikan masalah limbah, tetapi mengubahnya menjadi solusi.
Bagaimana cara ini akan dapat membantu ‘mengamankan’ lingkungan? Dengan mengubah CO₂ menjadi metana yang berguna, manusia akan dapat "mengendalikan" salah satu gas paling bermasalah dalam hal pemanasan global itu sekaligus memberinya tujuan. Sistem ini, tidak hanya mendaur ulang, tetapi juga mengintegrasikannya kembali ke dalam siklus energi, yang juga menjadi alternatif sangat baik untuk gas, asap, dan minyak.
Akan halnya dengan para pesaing, misalnya, Lembah Silikon (AS) masih membanggakan apa yang akan—atau sedang—mereka ciptakan, juga Cina yang selama ini mendominasi produksi berskala besar. Tetapi, dengan penemuan para peniliti dia TU Wien tersebut, Austria boleh dikatakan menutup lingkaran itu dengan melihat apa yang sudah dimiliki dan cara memanfaatkannya dengan lebih baik. Ini menjadi pertaruhan yang sangat menarik, dan revolusioner.
Manfaat Ganda Bagi Lingkungan
Penemuan para ilmuwan Universitas Teknologi Wina itu memang "mengejutkan" dan tidak pernah disangka-sangka. Penemuan itu memberikan manfaat ganda bagi lingkungan, yakni mengatasi masalah limbah baterai yang terus meningkat dan kebutuhan untuk mengurangi CO2 atmosfer.
Metode pengolahan limbah baterai itu disebut sebagai upcycling, bukan sekadar daur ulang, karena TU Wien mendaur ulangnya menjadi produk bernilai lebih tinggi (katalis) dengan fungsi baru dan penting.
Produksi Energi Bersih: Dengan mengubah CO2 menjadi metana, mereka pada dasarnya menciptakan bahan bakar yang netral terhadap iklim. Metana ini kemudian dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi industri atau dipasangkan dengan sistem hidrogen terbarukan untuk sistem loop tertutup yang sesungguhnya.
Proses upcycling ini dilaporkan beroperasi dalam kondisi sedang (tekanan atmosfer dan suhu sekitar 250°C), sehingga berpotensi dapat ditingkatkan untuk aplikasi teknologi sederhana. Para peneliti bahkan telah mempertimbangkan akhir masa pakai katalis itu sendiri, yang menunjukkan bahwa katalis tersebut dapat didaur ulang kembali menjadi prekursor aslinya untuk digunakan kembali, yang memastikan seluruh proses tetap ramah lingkungan.
Proses ini secara khusus mengekstraksi material berharga seperti nikel dan alumina dari limbah, yang berkontribusi pada efisiensi sumber daya. Penelitian ini, yang dipimpin oleh Prof. Günther Rupprechter dari Institut Kimia Material di TU Wien, diterbitkan dalam jurnal Green Chemistry. Ini merupakan langkah signifikan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dengan mengubah aliran limbah bermasalah menjadi sumber daya energi yang berharga.
Temuan TU Wien itu mengubah limbah baterai nikel-metal hidrida (Ni-MH) dan aluminium foil menjadi katalis untuk mengubah CO2 menjadi metana adalah inovasi yang menjanjikan, meskipun saat ini belum secara langsung berdampak pada baterai Lithium-ion (Li-ion) yang banyak digunakan pada kendaraan listrik (EV) global.
Implikasi tidak langsung terhadap baterai Li-ion antara lain meningkatkan dorongan untuk melakukan daur ulang dan ekonomi sirkular. Penemuan ini menunjukkan nilai potensial dari limbah baterai sebagai sumber daya, bukan hanya sebagai sampah. Meskipun fokusnya pada Ni-MH, ini memperkuat argumen dan riset untuk mencari metode daur ulang yang inovatif dan bernilai tambah bagi semua jenis baterai, termasuk Li-ion.
Dunia sedang berjuang dengan limbah baterai Li-ion yang masif dari EV. Keberhasilan TU Wien dalam upcycling komponen baterai Ni-MH bisa menginspirasi pendekatan serupa untuk baterai Li-ion, meskipun komposisi kimianya berbeda.
Peluang pemanfaatan nikel dan alumina pun akan lebih besar. Baterai Ni-MH mengandung nikel, yang juga merupakan komponen penting dalam beberapa jenis baterai Li-ion (misalnya NMC - Nikel Mangan Kobalt, dan NCA - Nikel Kobalt Aluminium). Aluminium foil juga digunakan dalam baterai Li-ion.
Jika metode TU Wien dapat diekstrapolasi atau diadaptasi untuk mengekstrak nikel dan alumina dari limbah baterai Li-ion (atau setidaknya komponen yang relevan) dan mengubahnya menjadi katalis, ini bisa menjadi jalur daur ulang baru yang sangat berharga. Misalnya, mengurangi jejak Karbon Keseluruhan Industri Baterai:
Jika kita bisa mengubah limbah baterai menjadi katalis untuk mengurangi CO2 (gas rumah kaca utama), maka ini secara tidak langsung membantu mengurangi jejak karbon global, termasuk yang berasal dari produksi dan penggunaan EV. Langkah ini juga berpotensi menciptakan ekonomi sirkular—memandang limbah sebagai sumber daya potensial—yang lebih komprehensif, di mana limbah dari satu industri (baterai) menjadi bahan baku untuk mengatasi masalah lingkungan lain (emisi CO2).
Temuan tersebut tentu saja dapat menjadi inspirasi untuk riset daur ulang Li-ion yang berkelanjutan, karena metode daur ulang baterai Li-ion saat ini didominasi oleh pirometalurgi (pembakaran suhu tinggi) dan hidrometalurgi (pelarutan kimia). Keduanya memiliki tantangan masing-masing, seperti konsumsi energi tinggi dan limbah sampingan.
Pendekatan yang dilakukan TU Wien menghasilkan produk bernilai tinggi (katalis) dari limbah baterai dapat menginspirasi peneliti Li-ion untuk mengembangkan metode daur ulang yang tidak hanya memulihkan material, tetapi juga menciptakan produk baru yang berguna.
Namun, terdapat perbedaan yang perlu diperhatikan, misalnya dari asepk komposisi kimia. Baterai Ni-MH mengandung nikel dan hidrida logam. Baterai Li-ion, di sisi lain, mengandung litium, kobalt, nikel, mangan, atau besi fosfat, tergantung pada jenisnya (misalnya NMC, LFP, NCA). Karena perbedaan komposisi ini, proses daur ulang untuk Li-ion lebih kompleks dan berfokus pada pemulihan logam-logam berharga seperti litium, kobalt, dan nikel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News