Pengamat Bongkar Risiko Pilkada via DPRD: Oligarki Lokal hingga Minim Legitimasi

3 days ago 9
 Oligarki Lokal hingga Minim LegitimasiPengamat Politik Muhammad Asratillah, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah dari sistem pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD kembali mengemuka setelah dilontarkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan mendapat resonansi dari Presiden Prabowo Subianto.

Meski bukan isu baru, menurut pengamat politik Muhammad Asratillah, gelombang terbaru ini menandai bahwa gagasan tersebut sedang diuji di ruang publik untuk membaca respons politik, sosial, dan konstitusional.

Asratillah menilai gagasan ini tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari kalkulasi elite terkait desain distribusi kekuasaan daerah dalam fase politik baru. Ia menyebut perlu kehati-hatian dalam membacanya.

“Ketika dua figur pusat menyuarakannya hampir bersamaan, ini bukan kebetulan. Ada ide yang sedang dilempar untuk mengukur reaksi publik,” ujarnya melalui saluran telpon, Rabu (10/12).

Menurutnya, argumen efisiensi biaya yang sering digunakan sebagai alasan utama perubahan mekanisme pilkada terlalu dangkal.

“Biaya pilkada memang tinggi, tetapi demokrasi punya cost of participation. Masalahnya bukan pada mahalnya pilkada, melainkan pada lemahnya manajemen anggaran, minim transparansi, dan politik uang yang merajalela,” kata Asratillah.

Ia memperingatan bahwa biaya tidak boleh dijadikan dalih untuk mengurangi kedaulatan rakyat.

“Biaya itu penting, tapi tidak bisa menjadi alasan membatasi hak publik. Dalam demokrasi yang masih penuh tantangan, perubahan sistem justru harus memperluas ruang partisipasi, bukan mempersempitnya,” kata Asratillah.

Lebih lanjut katanya, mengganti mekanisme pemilihan tanpa membenahi akar masalah, menurut dia, hanya memindahkan ruang transaksi politik. “Yang tadinya terbuka di ruang publik, akan pindah ke ruang rapat DPRD yang tertutup,” tegasnya.

Ia juga menilai legitimasi kepala daerah menjadi titik krusial. Pemilihan oleh DPRD, kata Asratillah, secara historis selalu memunculkan problem representasi.

“Kepala daerah menjadi lebih akuntabel kepada elite partai daripada kepada warga. Ini memperkuat oligarki lokal dan mempersempit ruang partisipasi masyarakat,” jelasnya.

Efeknya, jarak antara masyarakat dan proses politik semakin melebar, sementara risiko konflik kepentingan antara eksekutif daerah dan fraksi-fraksi DPRD makin membesar.

Di sisi lain, Asratillah mengingatkan bahwa wacana ini memiliki basis kepentingan struktural tertentu khususnya bagi partai-partai besar yang dominan di banyak DPRD.

“Arena kontestasi menjadi lebih sempit, hanya di internal parlemen. Pengaruh ketua fraksi menguat, dan bargaining politik makin terpusat,” tuturnya.

Ia menegaskan bahwa hal ini bukan serta-merta buruk, tetapi harus dibaca sebagai konsekuensi besar terhadap tata kelola politik lokal.

Daripada mengganti mekanisme pemilihan, Asratillah menilai reformasi pilkada seharusnya diarahkan pada penguatan integritas sistem pemilihan langsung.

“Digitalisasi pemilu, efisiensi logistik, audit keuangan yang ketat, dan pembenahan pendanaan politik jauh lebih relevan daripada mengubah sistemnya secara drastis,” ujarnya.

Asratillah menekankan bahwa wacana pilkada via DPRD membutuhkan uji publik yang serius, bukan hanya restu elite.

“Mengubah cara memilih kepala daerah berarti mengubah wajah demokrasi lokal. Pertanyaannya: apakah perubahan itu menyelesaikan masalah atau justru menciptakan masalah baru?” Pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news