Masyarakat Adat Rampoang Tolak Titik Pembangunan YON TP 872

1 day ago 7
Masyarakat Adat Rampoang Tolak Titik Pembangunan YON TP 872Tokoh Masyarakat Adat Desa Rampoang, Amir, (Dok: Sinta KabarMakassar).

KabarMakassar.com — Lahan hibah untuk pembangunan Yonif Tempur (YON TP) 872 Andi Djemma di Dusun Landonga, Desa Rampoang, Kecamatan Tana Lili, mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Kantor Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (11/12).

Masyarakat adat Rampoang menegaskan dukungan terhadap pembangunan batalyon, namun menolak titik koordinat lokasi yang saat ini direncanakan TNI.

Tokoh Masyarakat Adat Desa Rampoang, Amir, menyampaikan bahwa warga secara bulat menyatakan keberatan terhadap titik pembangunan yang berada dalam area 75 hektare dari total lahan hibah 500 hektare.

Lokasi tersebut disebut bersinggungan dengan lahan pemukiman yang telah dimiliki masyarakat secara turun-temurun.

“Tampaknya sepakat kami dari masyarakat Rampoang bahwa titik koordinat yang dibangun oleh TNI untuk membangun Yonif Tempur 872 itu kami keberatan. Maka titik koordinatnya harus dipindahkan,” ujar Amir usai RDP.

Menurutnya, seluruh pihak yang hadir mulai dari perwakilan Gubernur Sulsel, perwakilan Pangdam, anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten, hingga Ketua DPRD Luwu Utara telah menerima usulan pemindahan lokasi tersebut. Keputusan final kini menunggu arahan Gubernur Sulsel yang saat ini sedang berada di Aceh untuk penyerahan bantuan bencana.

Amir menegaskan bahwa warga tidak menolak keberadaan batalyon, tetapi menolak penempatan lokasi yang dianggap berpotensi menghilangkan hak masyarakat atas lahan warisan leluhur.

“Intinya, warga mendukung pembangunan batalyon. Yang kami tidak dukung itu adanya semacam perampasan tanah warga. Itu di situ bukan kebun memang ada sawit tumbuh, tapi itu perumahan. Rumah masyarakat yang sudah turun-temurun, bahkan ratusan tahun,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa masyarakat ingin mempertahankan sekitar 60 hektare lahan yang merupakan wilayah hunian adat, sementara masih tersedia lebih dari 400 hektare area lain dalam kawasan hibah yang dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan konflik.

“Bukan masalah digeser ke depan atau ke belakang. Intinya, titik koordinat 75 hektare itu harus dipindahkan, tapi tetap berada dalam area 500 hektare. Yang penting, jangan ada lahan turunan masyarakat yang terdampak,” tegasnya.

RDP tersebut kembali menyoroti ketidakjelasan tata batas dan penggunaan lahan hibah oleh Pemprov Sulsel, sekaligus menguatkan tuntutan masyarakat adat untuk mendapatkan kepastian mengenai perlindungan terhadap wilayah permukiman mereka.

“Kami menunggu keputusan resmi dari gubernur pada Senin nanti, kami tentu berharap proses pembangunan dapat berjalan tanpa menimbulkan konflik agraria baru,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news