KabarMakassar.com – Pendampingan hukum terhadap keluarga ahli waris yang lahannya terdampak proyek jalan dan tanggul Sungai Tello kini memasuki babak baru.
Setelah aksi seorang perempuan menghadang alat berat di Tello Baru viral, YLBHI–LBH Makassar menyatakan menemukan sejumlah dugaan pelanggaran prosedur hingga indikasi tindak pidana dalam proses pengerjaan proyek yang dikerjakan Dinas Sumber Daya Air dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan.
Muhammad Ismail, pendamping hukum dari YLBHI–LBH Makassar, mengatakan pihaknya telah menerima permohonan pendampingan dari ahli waris yang merasa tanahnya diserobot tanpa proses pembebasan lahan pada Kamis ( 11/12)
“Kemarin kami menerima permohonan pendampingan hukum yang terdampak pembangunan jalan di pinggir sungai Tello, ini proyek yang dikerjakan oleh Dinas Sumber daya Air dan Tata Ruang Sulawesi Selatan,” ujarnya.
Ismail menyebut tim LBH Makassar telah turun langsung meninjau lokasi dan mencocokkan fakta lapangan dengan dokumen yang diserahkan pemohon.
“Tadi kami meninjau lokasi memverifikasi fakta lapangan sesuai dokumen yang kami terima dari pemohon dalam hal ini ahli waris sebagaimana tercantum dalam kepemilikan atau dokumen atas tanah,” kata dia.
Menurutnya, alat berat telah masuk mengerjakan lahan yang sebelumnya telah diperingatkan oleh pihak keluarga agar tidak disentuh sebelum ada penyelesaian.
“Di lokasi memang alat berat sudah masuk ke lahan situ yang sebelumnya sudah diperingatkan kepada pihak kontraktor ataupun perwakilan dari dinas terkait agar tidak melakukan tindakan pembangunan di daerah itu sebelum adanya penyelesaian terkait dengan pembebasan tanah,” tegas Ismail.
LBH Makassar menemukan dugaan cacat prosedur dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
“Dari kronologi yang kami terima dan fakta di lapangan, kami menemukan bahwa ada cacat prosedur dalam proses pengadaan untuk kepentingan umum dalam hal ini jalan,” ujar Ismail.
Ia merujuk pada ketentuan hukum yang mengatur mekanisme pembebasan lahan.
“Kalau kita cek kembali di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang pengadaan tanah, harusnya ada proses perencanaan, pelaksanaan dan penetapan dalam proses ganti rugi,” jelasnya.
Namun, menurut pengakuan kliennya, semua tahapan itu tidak dilaksanakan.
“Kami konfirmasi klien, itu tidak dilakukan. Jadi tidak ada sama sekali kegiatan sejak awal untuk pembangunan dan pembebasan lahan,” ujarnya.
Ismail mengatakan ahli waris baru mengetahui pengerjaan proyek ketika alat berat mencoba masuk ke area yang disebutnya memiliki ukuran 31 × 15 meter persegi.
“Pemohon baru tahu ketika alat berat mencoba masuk ke area 31×15 meter persegi karena luas jalan yang dibangun bersama tanggulnya itu 15 meter,” ungkapnya.
Meski keluarga telah memasang plang kepemilikan dan menunjukkan dokumen rincik, aktivitas pengerjaan disebut tetap berlangsung.
“Setelah ahli waris memberi peringatan dan memasang plang tanah milik dengan alas hak hukum yang masih diakui oleh agraria di Indonesia, ternyata mereka tetap memaksa masuk dan tidak ada upaya pencegahan,” kata Ismail.
Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut mengarah pada dugaan pidana.
“Ini diduga telah terjadi tindak pidana penyerobotan,” tegasnya.
Ismail juga menyoroti kejanggalan dalam proses pembebasan lahan pada bagian lain proyek tersebut. Menurutnya, beberapa bidang tanah telah dibayar oleh pemerintah, tetapi satu bidang milik kliennya justru tidak tersentuh.
“Di bagian depan, sebelah lokasi klien kami itu sudah dibebaskan sebenarnya, artinya biaya pembebasan ini ada, tapi yang tersisa satu keluarga klien kami yang tidak dibebaskan tanahnya,” terangnya.
Hal ini memunculkan dugaan lanjutan. “Di situ kami juga patut menduga ada dugaan korupsi tahapan pengadaan tanah ini, karena yang lainnya mendapatkan ganti kerugian biasa pembebasan tanah tapi yang satunya tidak mendapatkan,” kata Ismail.
Ia menambahkan, harga pembebasan di lahan lain pun terpantau berbeda-beda.
“Begitu kita cek, itu juga beragam di lahan yang lain dengan luasan yang sama, tapi harganya berbeda,” sambungnya.
LBH Makassar juga menyoroti kerusakan tanaman milik warga.
“Di atas tanah itu ada tanaman Nipah yang sehari-hari mereka gunakan untuk pencarian hidup mereka dalam hal ini tuak manis yang dihubungi mereka,” ujar Ismail.
Ia menegaskan bahwa kliennya memiliki alas hak yang sah dan lahan itu selama ini dikelola secara aktif.
Karena itu, klaim kontraktor yang menyebut tanah tersebut adalah milik negara dianggap tidak berdasar.
“Upaya yang kami tempuh, karena kami sudah berkoordinasi dengan kontraktor namun mereka bersikeras, pihak kontraktor memberitahukan bahwa pemberitahuan dari dinas terkait bahwa itu adalah tanah negara,” ucapnya.
“Padahal faktanya itu ada alas hak di atasnya. Lahan itu dikuasai dan dikelolah, ada tanamannya. Itupun terjadi pengrusakan tanaman sebenarnya,” lanjutnya.
Atas temuan tersebut, LBH Makassar menilai telah terjadi pelanggaran administratif sekaligus indikasi tindak pidana.
“Sehingga selain administrasi ada dugaan tindak pidana. Tentu ini perbuatan melawan hukum, kami akan mendorong tiga upaya hukum, yakni administrasi, upaya pidana dan upaya perdata,” bebernya.
Ismail menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa proses hukum akan terus dilanjutkan jika dinas terkait tidak segera menyelesaikan masalah tersebut.
“Ketika dinas terkait dalam hal ini sumber daya air dan tata ruang tidak menyelesaikan masalah ini,” tutupnya.
Hingga kini, Dinas Sumber Daya Air dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan belum memberikan keterangan resmi terkait temuan LBH Makassar maupun laporan ahli waris.

















































