Jogja Disability Arts Perjuangkan Seniman Difabel Jadi Subjek di Ruang Seni

6 hours ago 5

Jogja Disability Arts Perjuangkan Seniman Difabel Jadi Subjek di Ruang Seni Jogja Disability ArtsRagam kegiatan Jogja Disability Arts. - Istimewa.

Harianjogja.com, JOGJA—Manusia cukup mendapatkan ruang yang mendukung, agar bisa berkembang sesuai kompetensinya. Komunitas Jogja Disability Arts memperjuangkan perjalanan seniman difabel menjadi subjek di ruang seni.

Kira-kira apa yang kamu pikirkan saat mendengar kata difabel? Sudah? Apakah muncul kaitan di pikiranmu tentang difabel dan seni? Irisan itu, antara difabel dan seni, bersanding di pameran Suluh Sumurup Art Festival (SSAF). Pameran tahunan ini sudah memasuki tahun ke-3 pada 2025 yang berlangsung 15 hingga 23 Mei 2025.

Salah satu penggagasnya yaitu Komunitas Jogja Disability Arts. Ketua Jogja Disability Arts, Sukri Budi Dharma, mengatakan di Jogja setiap tahunnya terdapat puluhan atau bahkan ratusan pameran seni. Namun masih jarang yang berperspektif difabel.

"[Pameran ini] berkomitmen menjadikan difabel sebagai pelaku [utama]," kata Butong, panggilan akrabnya, Kamis (15/5/2025). "Bagian yang bekerja di belakang layar [pameran] beberapa disabilitas juga kami libatkan."

BACA JUGA: UNY Siapkan 4 Arena Pertandingan untuk Dukung Kesuksesan Porda Gunungkidul

Membuat pameran, serta komunitas yang memfasilitasi seniman difabel, menjadi bagian utama pembentukan Komunitas Jogja Disability Arts pada 2009. Kala itu, para seniman difabel berkumpul secara organik. Nama awal komunitas yaitu Difabel and Friends Community, yang kemudian berganti menjadi Jogja Disability Arts.

Bagi seniman, berkumpul bisa berarti berkarya bersama. Butong mengatakan di komunitas, segala jenis kesenian ada, dari musik hingga seni rupa. “Saat itu pameran atau pertunjukan berlangsung secara sporadis. Bedanya, pameran dari komunitas seniman difabel ini berusaha lebih aksesibel,” kata Butong, yang saat ini berusia 49 tahun.

Menjadi Barometer

Latar belakang seniman di Jogja Disability Arts beragam. Ada yang berlatar pendidikan seni, autodidak, atau kuliah seni tapi keluar sebelum lulus. Butong tergolong yang nomor tiga. Baginya, belajar seni bisa dinamis, di mana saja dan dari siapa saja.
Justru dalam perkembangannya, Butong berkesempatan belajar seni ke Liverpool, Inggris.

Sekitar tahun 2019, dia lolos seleksi tingkat nasional untuk mengikuti program Disability Art Learning dari British Council. Butong semakin banyak mendapatkan ilmu tentang pemberian ruang dan penyelenggaraan event disabilitas, terutama berkaitan dengan ruang publik seni.

Ilmu yang didapatkan di Liverpool Butong sesuaikan dengan budaya Indonesia. “Dan ternyata seniman difabel Indonesia enggak kalah bagus dengan mancanegara, cuma di sana sudah terwadahi, di sini belum. Di sini luar biasa, belum ada bantuan sudah gerak, ada pameran atau enggak tetep ngelukis,” katanya.

Perjalanan pengalaman serta kebutuhan juga membawa Jogja Disability Arts mengurus badan hukum pada 2020. Tujuannya agar bisa semakin luas dalam berjejaring dan menggelar ragam kegiatan. Jogja Disability Arts terbuka untuk semua seniman difabel, baik dari dalam maupun luar DIY.

Butong sadar belum semua daerah memiliki komunitas seniman untuk difabel. Sehingga ruang yang sudah ada perlu semakin dimaksimalkan. “Kami berharap Jogja Disability Arts menjadi barometer serta ruang untuk para seniman difabel di Jogja maupun nasional,” kata Butong.

Seni Berkelanjutan

Dalam pameran SSAF 2025, masih banyak seniman difabel yang ingin bergabung meski masa pendaftaran sudah tutup. Sistem kurasi juga tetap dengan standar kualitas yang tinggi. Para seniman yang lolos SSAF 2025, sebanyak 40%-nya merupakan seniman muda.

Dari tahun ke tahun, pameran senantiasa berkembang. Tidak hanya memamerkan karya, namun kini tersedia juga beragam workshop. "[Kami] mendorong temen-temen disabilitas menjadi subjek, menjadi mentor di dalam workshop, pematerinya dari temen-temen disabilitas," katanya.

Perkembangan juga tidak hanya dari sisi pamerannya. Butong berharap secara personal, seniman difabel bisa berkelanjutan. Beberapa contohnya sudah terlihat. Seniman yang menjadi peserta pameran SSAF dua tahun lalu, kini sudah berkontribusi pada pameran yang lebih besar.

Karya seniman difabel juga tidak jarang muncul di pameran umum. Ada pula peserta pameran SSAF yang membuatkan mural di Kantor Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Butong berharap komunitas dan pameran menjadi ruang belajar dan jembatan seniman difabel untuk berkembang lebih lanjut.

"Kami juga berusaha memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat terkait kemampuan disabilitas. Saat ini masih ada stigma negatif pada temen-temen disabilitas, karena masyarakat melihat dari satu sudut pandang tentang kemampuannya," katanya.

Ruang Pameran Aksesibel

Ruang pameran Suluh Sumurup Art Festival (SSAF) selalu punya kekhasan tersendiri. Dari pintu masuk hingga jalur di depan karya, semuanya lebar. Salah satu tujuannya agar pemakai kursi roda bisa leluasa dalam bergerak.

Jarak antar karya juga lebih lebar dari pameran umum. Di sela-sela ruang pamer tersedia tempat istirahat. Untuk narasi tulisan di samping karya, ukuran hurufnya cukup besar, guna memudahkan difabel dengan keterbatasan pandangan. Letak karya juga tidak terlalu tinggi, sehingga orang yang menggunakan kursi roda bisa menikmati karya dan narasi dengan lebih mudah.

BACA JUGA:Warga Wonosari Gunungkidul Ditemukan Meninggal Dunia di Ladang

Masih banyak penyesuaian akses lainnya, termasuk ruang tenang, semisal ada pengunjung difabel yang tiba-tiba sakit. Butong mengatakan bahwa penyesuaian sarana-prasarana pameran, perlengkapan, sampai sistem kurasi untuk semakin memberi ruang para difabel selaku seniman maupun penikmat karya.

Bahkan jauh sebelum pameran, sistem undangan mengisi karya di pameran juga berusaha ramah difabel. “Sedari undangan udah aksesibel. Minim kata [di undangan tertulis] untuk tuna rungu, serta dilengkapi dengan audio juga [untuk netra],” kata laki-laki dengan tuna daksa tersebut.

Termasuk dari sisi pengisi karya, Butong berupaya memberikan ruang yang luas untuk segala jenis difabel. Sistem kurasi menyesuaikan kebutuhan. “Sistem kurasi juga menyesuaikan dari kemampuan, melibatkan akademisi dan pihak lainnya,” kata Butong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news