Lokakarya Kesehatan Remaja, (Dok: Sinta KabarMakassar).KabarMakassar.com — Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) dan United Nations Children’s Fund (Unicef), memperkuat pelayanan kesehatan remaja yang dilakukan melalui lokakarya peningkatan kapasitas kader remaja dan tenaga kesehatan, yang digelar di Vasaka Hotel Makassar, Senin (22/09).
Kegiatan ini tujuan menjadikan remaja sebagai agen perubahan dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungannya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, dr. Nursaidah Sirajuddin, menegaskan bahwa program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) menjadi pintu masuk dalam membekali generasi muda dengan keterampilan hidup sehat.
“Kalau remaja kita dibekali keterampilan hidup sehat, mereka akan mampu menangkal hal-hal buruk di lingkungannya. Kegiatan hari ini bukan hanya menambah pengetahuan, tapi juga menyiapkan mereka sebagai konselor sebaya yang bisa mengedukasi teman-temannya,” kata dr Ida nama karibnya.
Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya pemahaman remaja putri terkait kesehatan reproduksi menjelang pernikahan. Minimnya pengetahuan soal manajemen menstruasi, asupan zat besi, hingga persiapan kehamilan berkontribusi pada masalah serius seperti kematian ibu dan kasus stunting.
“Kalau sejak dini kita bekali remaja putri dengan pemahaman, maka risiko kematian ibu maupun anak bisa ditekan. Remaja juga bisa menjadi garda terdepan lewat posyandu remaja dalam mempromosikan kesehatan di lingkungannya,” tambahnya.
Lokakarya ini diharapkan tidak hanya menjadi forum transfer ilmu, tetapi juga melahirkan kader remaja yang benar-benar aktif sebagai perpanjangan tangan Dinas Kesehatan dan Unicef di tingkat komunitas.
“Dengan begitu, layanan kesehatan remaja bisa menjangkau lebih luas, terintegrasi, dan berkelanjutan,” tutupnya.
Sementara itu, Health Specialist Unicef Wilayah Sulawesi-Maluku, Badwi M. Amin, menilai bahwa perhatian terhadap remaja kerap terabaikan dalam program kesehatan.
Selama ini, pemerintah lebih banyak fokus pada ibu hamil dan balita, sementara kelompok usia remaja cenderung hanya disentuh lewat isu tertentu seperti kesehatan reproduksi atau pemberian tablet tambah darah.
“Remaja itu sebenarnya menghadapi banyak masalah, mulai dari perubahan fisik, emosional, hingga kesehatan mental. Sayangnya, program kesehatan masih berdiri sendiri-sendiri, tidak terintegrasi. Padahal mereka butuh pendekatan yang menyeluruh,” jelas Badwi.
Ia mencontohkan banyaknya distribusi tablet tambah darah yang tidak diiringi pemantauan apakah benar-benar dikonsumsi atau tidak. Padahal, esensi keberhasilan sebuah program kesehatan bukan hanya pada jumlah distribusi, melainkan pada hasil nyata yang dirasakan remaja.
Selain itu, Badwi juga menyoroti minimnya akses layanan kesehatan jiwa bagi remaja. Menurutnya, stigma membuat banyak remaja enggan mencari pertolongan meski sudah mengalami tekanan berat akibat bullying, stres sekolah, atau masalah keluarga.
“Pemerintah rugi kalau layanan kesehatan tidak dimanfaatkan. Anak-anak remaja perlu tahu bahwa layanan itu ada, bukan hanya menunggu sampai sakit baru datang. Deteksi dini harus dilakukan sejak sekarang,” tegasnya.
Terkait dukungan pembiayaan, UNICEF mendorong agar pemerintah di semua level daerah, provinsi, hingga pusat mengalokasikan anggaran yang lebih kuat. Apalagi, ancaman kesehatan remaja seperti anemia, kesehatan reproduksi, hingga HIV/AIDS terus meningkat dan membutuhkan intervensi yang serius.
“Tidak ada pergerakan kesehatan yang tidak butuh anggaran. Harapannya proses penganggaran bisa lebih fokus pada isu prioritas yang mengancam generasi kita, termasuk HIV yang saat ini menjadi ancaman nyata,” pungkas Badwi.

















































