KabarMakassar.com – Tekanan terhadap perekonomian Sulawesi Selatan (Sulsel) diprediksi akan semakin berat di kuartal pertama tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor yang mendorong terjadinya anomali ekonomi baik di tingkat global, nasional, hingga regional.
Pandangan ini disampaikan oleh Ekonom Universitas Hasanuddin, Prof Marsuki DEA, yang menyebut fenomena anomali ekonomi di daerah sebagai kondisi yang tidak bisa dihindari.
Menurut Marsuki, tekanan tersebut bukan hanya terjadi di sektor konsumsi, melainkan meluas ke sektor riil, investasi, hingga sektor keuangan. Ia menilai daya beli masyarakat semakin melemah akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkat.
Meskipun statistik resmi menunjukkan harga-harga relatif stabil bahkan rendah, namun kenyataan di pasar menunjukkan hal sebaliknya. Ketidaksesuaian ini kian terasa saat memasuki momen Lebaran tahun ini.
Selain itu, kalangan dunia usaha juga ikut terdampak. Beban pajak dan berbagai biaya lain semakin menekan, diperparah oleh menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap arah kebijakan pemerintah yang dinilai belum berpihak pada kepentingan publik secara nyata.
“Ini menjadi beban tersendiri yang menambah beratnya tekanan ekonomi di tingkat lokal,” ujar Marsuki, Rabu (23/04).
Ia memproyeksi bahwa tren ekonomi pada kuartal pertama tahun ini, baik di level global, nasional, maupun daerah, akan menunjukkan kontraksi.
Proyeksi optimistis yang sebelumnya disampaikan sejumlah pihak disebutnya tidak akan tercapai. Salah satu pemicunya adalah kebijakan ekonomi global, terutama yang dipicu oleh pendekatan proteksionis dari Amerika Serikat (AS).
Marsuki menyoroti kebijakan “America First” yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Kebijakan tersebut berangkat dari pandangan bahwa kerugian ekonomi AS selama ini disebabkan oleh kebijakan perdagangan dan keuangan yang terlalu longgar serta menguntungkan negara mitra.
Ironisnya, sistem pasar terbuka yang kini mereka lawan adalah sistem yang sebelumnya dibangun dan dipopulerkan oleh AS sendiri.
Pasar global pun merespons kebijakan ini dengan cara yang tidak diharapkan. Marsuki menilai AS kini mulai terjebak dalam dampak dari kebijakan yang justru menimbulkan kontradiksi terhadap prinsip ekonomi pasar yang mereka gagas sendiri.
“Konsumsi dalam negeri AS akan terkoreksi, aktivitas impor menurun, sektor produksi yang melibatkan investor asing melemah, hingga berpotensi memicu lonjakan PHK serta gejolak sosial,” terangnya.
Dampaknya tentu akan merembet ke negara lain, termasuk Indonesia. Menurut Marsuki, para pelaku ekonomi nasional akan ikut terdampak, dengan mulai menurunnya konsumsi dan terganggunya sektor produksi.
Ia menilai kebijakan dan stimulus yang diberikan oleh pemerintah sejauh ini belum menunjukkan hasil yang nyata dalam memperbaiki situasi.
Lebih lanjut, Marsuki mengkritisi praktik korupsi yang masih terjadi di berbagai lembaga pemerintah dan badan usaha milik negara.
Kondisi ini semakin memperburuk situasi karena masyarakat belum melihat arah penyelesaian yang jelas. Hal ini, menurutnya, membuat pelaku ekonomi semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan penting.
Tak hanya itu, munculnya lembaga pengelola aset keuangan berskala besar juga dipertanyakan.
Marsuki menilai pendirian lembaga tersebut terkesan tiba-tiba dan tidak transparan, sehingga belum bisa dinilai apakah keberadaannya benar-benar akan memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat secara luas.
Dengan demikian, Marsuki menyimpulkan bahwa rangkaian anomali yang terjadi saat ini merupakan akibat dari kebijakan, kondisi, dan perilaku politik yang tidak sejalan dengan ekspektasi pasar di berbagai tingkatan.
“Bagi Sulsel, anomali di sektor riil, konsumsi, investasi, dan keuangan adalah hal yang tak terelakkan. Ini adalah keniscayaan yang harus dihadapi,” tutupnya.
Untuk informasi, Sulawesi Selatan (Sulsel) tercatat mengalami inflasi tahunan sebesar 0,67% pada Maret 2025, angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi nasional yang mencapai 1,03% year on year (yoy). Inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas unggulan di provinsi tersebut.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel, Aryanto, menjelaskan bahwa inflasi tahunan ini didorong oleh beberapa kelompok pengeluaran, seperti makanan, minuman, tembakau, pakaian, alas kaki, perlengkapan rumah tangga, dan sektor lainnya.
Kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran mengalami kenaikan tertinggi sebesar 3,23%, sementara perawatan pribadi dan jasa lainnya naik hingga 9,31%.
Menurut Aryanto, beberapa komoditas memberi andil signifikan terhadap inflasi, di antaranya adalah emas perhiasan yang naik 46,86%, memberikan kontribusi 0,56% terhadap inflasi. Selain itu, harga cabai rawit juga melonjak 59,92%, memberikan andil 0,22%, serta kenaikan harga sigaret kretek mesin (SKM) dan minyak goreng.
Namun, Aryanto juga mencatat adanya beberapa komoditas yang menekan inflasi Sulsel, yakni tarif listrik dan beras. Penurunan harga tarif listrik yang mencapai 24,38% akibat diskon untuk pelanggan pasca bayar berperan dalam menekan inflasi, sementara beras turun 8,88% seiring dengan panen raya di Sulsel.
Secara bulanan, Sulsel juga mengalami inflasi sebesar 2,16% month to month (mtm). Kenaikan tarif listrik, yang berakhirnya diskon tarif untuk pelanggan prabayar turut memberi andil dalam inflasi bulanan ini. Selain itu, cabai rawit dan emas perhiasan juga memberikan andil dalam lonjakan harga pada Maret 2025.
“Secara keseluruhan, meskipun terjadi inflasi tahunan, penurunan harga beberapa komoditas utama seperti tarif listrik dan beras cukup membantu menjaga laju inflasi di Sulsel,” ungkap Aryanto dalam keterangan resminya dikutio Senin (21/04).