
KabarMakassar.com — Polemik mengenai moratorium izin operasional tempat hiburan kembali mencuat, kali ini menyita perhatian serius dari DPRD Sulawesi Selatan.
Menanggapi keresahan para pelaku usaha, Komisi C DPRD Sulsel menyatakan akan memanggil Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Sulsel guna meminta penjelasan mendetail soal dasar kebijakan dan pelaksanaannya.
Langkah ini diambil menyusul pernyataan dari sejumlah asosiasi pengusaha hiburan yang mengaku keberatan dengan adanya interpretasi kebijakan perizinan yang dianggap membingungkan dan berpotensi menghambat iklim investasi, khususnya di sektor hiburan malam.
Anggota Komisi C DPRD Sulsel, Hamzah Hamid, menegaskan bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas PTSP Provinsi Sulsel untuk memperjelas duduk persoalan yang kini menuai polemik di masyarakat.
“Insya Allah dalam waktu dekat kami akan panggil Dinas PTSP. Kami ingin tahu dulu seperti apa posisi dan dasar dari kebijakan yang diambil. Harus ada kejelasan,” ujar Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN), itu melalui saluran telpon, Minggu (08/06).
Salah satu poin yang menuai sorotan adalah soal klaim bahwa izin tempat hiburan harus mendapat persetujuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pernyataan tersebut sempat dilontarkan oleh pihak asosiasi pengusaha hiburan dan menimbulkan kebingungan, baik di kalangan pengusaha maupun masyarakat.
Menanggapi hal ini, Hamzah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa MUI menjadi penentu dalam pemberian izin operasional tempat hiburan. Menurutnya, proses perizinan tetap menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi, dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah dipenuhi di tingkat kota.
“Kalau dibilang harus ada persetujuan MUI, itu tidak ada dasarnya. Rekomendasi tetap datang dari pemerintah, dan itu berdasar pada kelengkapan dokumen dan pemenuhan aturan yang berlaku di kota. Jadi tidak bisa dicampuradukkan,” jelasnya.
Hamzah menegaskan, DPRD sebagai mitra pengawas eksekutif tidak akan tinggal diam melihat potensi tumpang tindih aturan yang berisiko merugikan pelaku usaha. Ia menilai, sektor hiburan merupakan bagian dari penggerak ekonomi yang perlu diberi ruang tumbuh, tentu saja dengan tetap memperhatikan etika dan ketentuan hukum yang berlaku.
“Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja dan menopang ekonomi malam hari di kota-kota besar seperti Makassar. Tentu kami ingin melihat lebih dalam bagaimana regulasi yang ada,” tambahnya.
Sebelumnya, Pelaku usaha hiburan malam yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Industri Hiburan Makassar (APIHM) curhat ke Komisi A DPRD Kota Makassar terkait kesulitan perizinan operasional yang mereka hadapi, pada Selasa (03/06).
Keluhan ini muncul menyusul diberlakukannya moratorium perizinan tempat hiburan malam oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui SK Gubernur Nomor 714/V/Tahun 2025.
Dalam audiensi yang digelar di Kantor DPRD Makassar, Ketua APIHM Hasrul Kaharuddin menyampaikan bahwa kebijakan tersebut berdampak langsung terhadap kelangsungan usaha anggota asosiasi.
Ia menegaskan, para pelaku usaha tidak sedang mencari celah untuk melanggar aturan, namun membutuhkan kepastian hukum dan pembinaan dari pemerintah kota.
“Kami ini bukan ingin melanggar aturan, justru kami datang untuk minta arahan. Selama ini sudah proses izin panjang, tapi tetap tidak ada kejelasan. Kami datang ke DPRD Makassar dulu, sebelum naik ke provinsi. Ini rumah kami,” ujar Hasrul.
Hasrul mengungkapkan bahwa keluarnya SK moratorium dari Pemprov Sulsel membuat banyak pengusaha ketakutan. Namun pihaknya menekankan bahwa asosiasi memilih pendekatan dialogis, bukan demonstratif.
“Saat moratorium keluar, jujur kami panik. Tapi saya bilang ke teman-teman, kita jangan demo dulu, kita cari jalan baik-baik. Kita percaya DPRD Kota Makassar bisa jadi jembatan,” tegasnya.