Artificial Intelligence Mengancam Pers, Pakar: AI Tak Dapat Menangkap Empati Reportase

4 hours ago 2

 AI Tak Dapat Menangkap Empati Reportase Diskusi yang digelar AJI Yogyakarta bertajuk Kebebasan Pers dalam Bayang-Bayang Militerisme dan Kecerdasan Artifisial di Akademi Bahagia EA, Ngaglik, Sleman, Sabtu (3/5/2025). - Harian Jogja/Andreas Yuda Pramono.

Harianjogja.com, SLEMAN—Penggunaan Artificial Intelligence (AI) hari-hari ini mulai masif sejak OpenAI meluncurkan ChatGPT. Penggunaan prompt atau instruksi yang tepat sangat memudahkan pengguna dalam mencari atau menyusun informasi sesuai keinginan. Bahkan, perusahaan media telah menggunakan AI untuk memproduksi ratusan artikel, termasuk berita.

Penggunaan AI memantik perdebatan luas dan kompleks mengenai bermacam ancaman terhadap demokrasi, pers, dan jurnalis. Dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman menyatakan AI tidak memiliki empati yang merupakan unsur penting dalam membuat berita.

Dalam diskusi yang digelar AJI Yogyakarta bertajuk “Kebebasan Pers dalam Bayang-Bayang Militerisme dan Kecerdasan Artifisial” di Akademi Bahagia EA, Ngaglik, Sleman, Sabtu (3/5/2025), Herlambang mengaku AI sekadar alat yang beroperasi melalui tangan manusia.

BACA JUGA: Google Menyiapkan Akses Gemini AI untuk Anak-Anak lewat Perangkat Android

“Dalam memproduksi karya jurnalistik, empati menjadi sangat penting. AI tidak dapat mencapai ini. Ada sesuatu yang tidak dapat AI gantikan,” kata Herlambang, Sabtu.

AI bisa digunakan secara baik untuk mengembangkan hal-hal yang memuat nilai-nilai edukasi dan transformatif. Sebaliknya, AI dapat menjadi peranti yang destruktif apabila digunakan secara serampangan.

Melalui AI, Herlambang menerangkan dunia digital memuat potensi-potensi ancaman. Dia membandingkan dua periode yang mana memiliki orientasi berbeda dalam penggunaan serangan digital.

“Dulu, serangan digital [bagian dari strategi digital] diorganisasi untuk kebutuhan elektoral atau digunakan untuk menopang politik rezim,” katanya.

Dalam perkembangan dunia teknologi, strategi digital terjadi reorientasi yang hari-hari ini mengarah kepada penggunaanya sebagai alat melegitimasi kepentingan politik seseorang, lebih luas dari sekadar kepentingan politisi.

Dunia digital telah diprivatisasi. Artinya, ada kelompok yang memang memiliki modal untuk menyusun pasukan siber/ cyber troops. Privatisasi yang dibangun dengan nafas represi dapat merusak sistem sosial budaya. Herlambang menggunakan istilah genosida secaa digital. Caranya adalah dengan manipulasi, pembohongan, dan pendangkalan informasi. “Targetnya adalah kesadaran politik kewargaan,” ucapnya.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, mengatakan bahwa teknologi informasi, dalam konteks global, digunakan sejata oleh aktor tertentu dengan menarget kelompok kritis. Selain itu, industri media sangat dipengaruhi oleh penguasa teknologi.

Nenden menggunakan istilah broligarki yang mana ada segelintir laki-laki yang menjadi pemilik perusahaan raksasa digital dunia. Media, mau tidak mau, harus mengalah atas kebijakan broligarki. Media mulai ketergantungan.

AI memperburuk situasi. Nenden menyinggung mengenai operasi siber oleh tentara yang semakin legitimate setelah pembaruan UU TNI. Akses, modal, dan UU TNI mengancam kebebasan pers dan demokrasi.

Ketua AJI Yogyakarta, Januardi Husin, mengatakan kebebasan pers mendapat ancaman baik dari luar maupun internal perusahaan. Di internal, upaya memproduksi karya jurnalistik bermutu terganjal kendala bisnis media dan algoritma.

“Berita yang baik itu sekarang adalah berita yang menarik minat pembaca. Artikel ringan atau berita ringan saja sekarang bisa dihasilkan lewat AI. Ini jadi persoalan. Padahal, berita kan harus memuat kepentingan publik dan berpihak kepada masyarakat marjinal,” kata Januardi.

BACA JUGA: AI Berbahaya karena Memanjakan Anak, Orang Tua Wajib Ajarkan Cara Berpikir Kritis

Januardi mengaku ongkos membuat satu berita indepth setara ratusan berita ringan yang dapat diproduksi penulis konten menggunakan AI. Penggunaan AI, semakin lama, semakin menjauhkan berita dari kepentingan publik.

“AJI sedang mendorong bagaimana Dewan Pers dan komunitas profesi jurnalis dapat menggunaan AI secara rinci di ruang redaksi. Agar jurnalis tetap mengedepankan kepentingan publik. Esensi jurnalisme tidak tergerus,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news