Gedung Mahkamah Konstitusi (Dok : Int).KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materi Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2023.
Sidang pemeriksaan perbaikan Permohonan Nomor 216/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Bonatua Silalahi berlangsung di Ruang Sidang MK, dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, Selasa (2/12).
Kuasa hukum Pemohon, Abdul Ghofur Sangaji, menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sebagaimana diarahkan dalam sidang pendahuluan serta sesuai format Peraturan MK Nomor 7 Tahun 2025.
“Perbaikan yang kami ajukan mencakup penyesuaian format, penegasan legal standing, penambahan kutipan pasal yang menjadi batu uji, hingga argumentasi bahwa perkara ini bukan ne bis in idem,” ujar Abdul Ghofur.
Dalam petitum yang telah diperbaiki, Bonatua meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf r UU Pemilu bersifat inkonstitusional bersyarat apabila tidak dimaknai sebagai kewajiban verifikasi faktual ijazah oleh lembaga negara.
Pemohon mendesak agar dokumen pendidikan calon presiden dan wakil presiden harus diautentikasi secara faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pencipta arsip, serta oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) maupun Lembaga Kearsipan Daerah (LKD). Proses autentikasi tersebut diminta wajib dijadikan Arsip Autentik Negara.
“Kami meminta Mahkamah memaknai ulang ketentuan ini agar ijazah capres-cawapres tak hanya difotokopi dan dilegalisir, tetapi diverifikasi faktual oleh negara,” tegas kuasa hukum.
Selain itu, Pemohon meminta MK memerintahkan KPU menyesuaikan mekanisme verifikasi administrasi pencalonan agar selaras dengan tafsir konstitusional baru yang dimohonkan.
Pada sidang pendahuluan 19 November lalu, Bonatua Silalahi mempertanyakan lemahnya norma autentikasi ijazah dalam regulasi pemilu.
Menurutnya, masyarakat umum saja diwajibkan menunjukkan ijazah asli dalam berbagai proses administrasi mulai dari lamaran kerja, pendidikan tinggi, notaris, hingga sertifikasi profesi.
Namun pada pencalonan jabatan publik setingkat presiden, kepala daerah, atau anggota legislatif, hanya diminta fotokopi legalisir tanpa verifikasi faktual.
“Masyarakat biasa diwajibkan menunjukkan ijazah asli. Tapi calon pejabat publik justru cukup menyerahkan fotokopi legalisir tanpa keharusan autentikasi. Ini diskriminatif,” kata Pemohon dalam sidang sebelumnya.
Ia juga menyoroti penggunaan frasa “dapat melakukan klarifikasi faktual” dalam aturan KPU, yang membuat verifikasi ijazah bersifat opsional, bukan kewajiban.
Dalam permohonannya, Bonatua meminta MK memberi kewenangan tegas bagi ANRI dan LKD untuk autentikasi arsip pendidikan berdasarkan UU Kearsipan.
Pemohon juga mendesak MK memerintahkan Presiden dan DPR menyesuaikan norma UU Pemilu agar selaras dengan putusan Mahkamah, apabila MK mengabulkan permohonan tersebut.
Di bagian akhir petitum, Pemohon meminta MK menjatuhkan putusan yang “seadil-adilnya (ex aequo et bono)”.
Permohonan ini menguji Pasal 169 huruf r UU Pemilu yang mengatur syarat ijazah sebagai salah satu dokumen pencalonan presiden-wakil presiden. Pemohon memandang norma tersebut tidak cukup menjamin integritas dokumen, sehingga membuka ruang potensi manipulasi.
Sidang lanjutan akan dijadwalkan setelah Majelis Hakim mempelajari perbaikan permohonan dan dokumen pendukung.

















































