Sucipto Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga mewakili pemerintah memberikan keterangan pada sidang lanjutan uji Nomor 12 Tahun 1980 (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Polemik pensiun seumur hidup bagi anggota DPR kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 pada Senin (08/12).
Sidang ini digelar untuk mendengarkan keterangan Pemerintah atas gugatan yang diajukan dua warga negara, Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, melalui Perkara No. 176/PUU-XXIII/2025.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, para Pemohon menguji Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980.
Mereka menilai aturan pensiun seumur hidup bagi anggota DPR tidak sesuai dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan asas negara hukum. Pemohon berargumen bahwa seorang anggota DPR yang hanya menjabat satu periode tetap memperoleh pensiun seumur hidup, bahkan dapat diwariskan, sehingga dianggap tidak proporsional dengan masa kerja maupun kontribusi.
“Ketentuan ini membuka ruang ketimpangan. Seseorang hanya bekerja lima tahun, tapi mendapatkan hak seumur hidup. Itu bertentangan dengan prinsip keadilan,” ujar Syamsul dalam sidang sebelumnya.
Menanggapi gugatan tersebut, Pemerintah melalui Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM, Sucipto, menegaskan bahwa pensiun bagi pimpinan dan anggota DPR merupakan bentuk penghargaan atas pengabdian dalam fungsi ketatanegaraan.
Ia menyebut konsep amtswürde kehormatan jabatan sebagai dasar filosofi pemberian manfaat tersebut.
“Pemberian pensiun ini bukan keistimewaan. Ini adalah penghargaan jabatan publik dalam sistem hukum publik,” tegas Sucipto.
Sucipto juga membantah tudingan pemborosan anggaran. Ia menjelaskan bahwa skema pensiun DPR mengacu pada kombinasi defined benefit (DB) yang dihasilkan dari iuran wajib anggota, serta mekanisme pay-as-you-go (PAYG) yang digunakan oleh banyak negara modern.
“Mekanisme pendanaan pensiun DPR tidak bersifat pemborosan. Proporsinya hanya sekitar 0,001 hingga 0,002 persen dari total anggaran sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial,” katanya.
Pemerintah juga menyebut bahwa penilaian terkait wajar atau tidaknya pemberian pensiun merupakan ranah open legal policy pembentuk undang-undang. MK, menurut Pemerintah, tidak dapat menggantikan pertimbangan politik hukum kecuali ditemukan pertentangan nyata dengan UUD 1945.
“Ratio legis pemberian pensiun seumur hidup telah dipertegas Mahkamah dalam Putusan No. 41/PUU-IX/2013. Dalil serupa telah diputus dan berkekuatan hukum tetap,” ujar Sucipto.
Pemerintah turut mengingatkan bahwa jika gugatan dikabulkan, dampak hukumnya akan meluas kepada seluruh pejabat negara lain yang diatur dalam UU 12/1980, bukan hanya anggota DPR.
Lebih lanjut Pemerintah menyebut permohonan Pemohon bersifat kabur dan tidak menunjukkan kerugian konstitusional langsung.
“Dalil Pemohon bersifat asumtif dan tidak relevan. Tidak ada kerugian konstitusional yang nyata,” tutup Sucipto.
Sebelumnya, Pemohon menilai skema pensiun DPR telah membebani negara secara tidak proporsional. Mereka menyebut total manfaat pensiun mencapai Rp226,015 miliar seluruhnya bersumber dari APBN.
Pemohon membandingkan masa kerja anggota DPR dengan pejabat negara lain seperti hakim agung, auditor BPK, ASN, TNI, dan Polri yang membutuhkan masa kerja panjang sebelum berhak atas pensiun penuh.
“Di beberapa negara, seperti Inggris dan AS, pensiun anggota parlemen didasarkan pada usia, masa jabatan, dan kontribusi. Model Indonesia tidak mencerminkan prinsip itu,” tulis Pemohon dalam berkas gugatan.
Pemohon juga menyoroti moralitas dan kinerja DPR yang dinilai tidak sebanding dengan fasilitas dan tunjangan yang diterima. Mereka mengutip keluhan publik terkait rendahnya kehadiran dalam sidang paripurna dan kualitas kinerja legislasi.

















































