Pembuangan sampah open dumping. / Foto ilustrasi Freepik
Harianjogja.com, SLEMAN--Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman akan memohon kepada Pemda DIY untuk membuka kembali Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Piyungan. Pembukaan ini berkaitan dengan keinginan Pemkab Sleman membuang residu hasil pengelolaan sampah ke TPA Piyungan. Pasalnya, insinerator yang digadang-gadang dapat menyelesaikan sampah dari hulu ke hilir masih belum dapat beroperasi.
BACA JUGA: 6.000 ton Sampah di Sleman Telah Diangkut
Sekretaris DLH Sleman, Sugeng Riyanta, mengaku Sleman masih belum dapat mengolah sampah secara tuntas. Masih ada persoalan mengenai residu hasil pengelolaan sampah. DLH akan kembali meminta izin ke Gubernur DIY.
“Sepanjang masih dimungkinkan, kami akan ke TPA Piyungan. Residu yang tidak bisa kami olah jadi Refuse derived fuel [RDF] tetap harus dibuang, seperti pampers. Selain RDF anorganik, kami olah juga RDF organik meski harganya lebih murah,” kata Sugeng ditemui di Rumah Dinas Bupati Sleman, Kamis (12/6/2025).
Dia mengakui meminta izin membuang sampah di TPA Piyungan tidak mudah. Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, telah memerintahkan kabupaten/ kota untuk melakukan pengelolaan sampah terdesentralisasi.
Sugeng juga menyampaikan Pemkab Sleman kesulitan mengelola sampah liar di berbagai wilayah. UPTD Pelayanan Persampahan telah mengangkut sampah-sampah tersebut.
“Kami sempat membuang di TPA Piyungan awal 2025. Kami akumulasi dari masing-masing TPS3R [Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle] yang minta difasilitasi. Kami minta untuk 1.000 ton. Terakhir baru 50 truk yang bisa difasilitasi,” katanya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sleman, Susmiarto, mengatakan penyelesaian sampah merupakan program jangka panjang. Pengelolaan sampah di Bumi Sembada selama ini juga menggandeng masyarakat melalui sistem kemitraan.
“Ada yang menjadi nasabah sampah, bank sampah, membuat produk dari sampah. Itu kan peran serta masyarakat,” kata Susmiarto.
Ketua Jejaring Pengolah Sampah Mandiri (JPSM) Sleman, Hijrah Purnama Putra, mengatakan bank sampah, sedekah sampah, kelompok sekolah, pengerajin daur ulang sebenarnya tidak memiliki kemampuan mengolah sampah menjadi produk. Mereka hanya menjadi penyalur.
“Yang membutuhkan industri daur ulang dengan kapasitas besar. Setelah sampah masuk ke pengepul lalu ke kami,” kata Putra.
Ada 200 kelompok anggota hingga saat ini. Dari jumlah tersebut, 50% nonaktif. Putra berharap ada pertemuan secara lebih besar dengan memperluas kuota pertemuan antaranggota.
“Semangat pengelolaan sampah kan dari diri sendiri. Akhirnya mereka mendirikan. Ketemua banyak masalah lalu mundur. JPSM lalu mendata kesulitan dan kebutuhan. Mereka kan tidak diupah juga. Kadang mengeluarkan biaya mandiri juga,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News